Cerita Panas Ibu Rina, Istri dan Mertua Part 1

Cerita Panas Bersambung 1

Cerita Panas Bersambung – Pengalaman ini berawal ketika aku kuliah di universitas di daerah Setiabudhi Badung. Aku nge-kost di daerah Geger Kalong yang saat itu identik dengan DT-nya Aa Gym yang menjadikan tidak terbesit olehku akan mengalami pengalaman yang seru ini.

Aku nge-kost di sebuah rumah pasangan suami-istri. Mereka mempunyai anak satu namun karena sudah berumah tangga maka anaknya itu sudah tidak tinggal di rumah itu. Tempat kost-ku mungkin berada agak jauh dari kampus dibandingkan dengan tempat kost-kost yang lain dan suananya lebih sepi dan tenang. Mungkin karena itu pula aku memilih kost-an itu disamping harganya yang lebih murah daripada kost-kostan yang lain. Hanya terdapat 3 kamar yang di sewakan di belakang bangunan utama yang ditinggali oleh pemilik kost tersebut. Pemilik kost tersebut Pak Dedi yang bekerja di sebuah perusahaan operator telepon seluler dan istrinya Bu Rina yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Pak Dedi berumur sekitar 45 tahunan dan Bu Rina sekitar 38 tahunan.

Pekerjaan Pak Dedi yang suka mengurusi proyek-proyek pembangunan BTS di daerah-daerah menjadikannya sering keluar kota, mungkin dari itu juga makanya rumah mereka di kostkan, biar Bu Rina tidak kesepian kalau ditinggal keluar kota katanya. Bu Rina mungkin bisa dibilang sudah cukup berumur bahkan sudah menjadi nenek dari anak putrinya semata wayang. Namun dari wajahnya masih terlihat segar dan manis, mungkin waktu mudanya memang cantik.

Waktu awal aku ngekost disana, aku menganggap Bu Rina seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya, bahkan aku menganggap sebagai wanita yang alim karena penampilan sehari-harinya selalu menggunakan jilbab dan baju gamis yang longgar sehingga tidak pernah terlihat sedikit pun lekuk tubuhnya dari luar. Pada awal-awal aku biasa saja, mungkin hanya senyum kalau bertemu atau berucap sapa sewajarnya. Bu Rina biasanya sering ngobrol dengan Putri, penghuni kost yang lain.

Keadaan mulai berubah ketika memasuki smester ke-3, penghuni di kost-an itu hanya tinggal aku karena Putri telah lulus dan sudah tidak tinggal di situ lagi, sedangkan kamar yang satunya lagi memang sudah lama kosong, mungkin karena jaraknya yang jauh dari kampus sehingga kurang peminatnya.

Suatu pagi hari rabu, aku dapat jam kuliah siang. Sambil nunggu kuliah, aku hanya santai-santai di kost-an sambil baca buku. Lalu datang Bu Rina menjemur pakaian, kebetulan tempat jemuran berada di depan kamarku, jadi sempat juga kuperhatikan Bu Rina yang sedang menjemur pakaian. Tidak seperti biasanya, saat itu Bu Rina menghampiriku setelah selesai menjemur pakaiannya.

“Tidak kuliah, Din?” tanyanya mengawali percakapan.

“Jadwalnya siang, Bu.” jawabku.

“Gimana tinggal di sini, betah gak?” tanyanya lagi.

“Betah kok, bu, tempatnya bersih, tenang, murah lagi.” jawabku sambil sedikit tertawa.

“Ya mungkin buat nak udin sih tenang, tapi buat Ibu sih sepi, apalagi setelah anak ibu menikah dan ikut suaminya, makanya rumahnya ibu kost-kan.” kata Bu Rina.

“Owh… tapi kenapa ibu gak jual aja bu rumahnya trus ibu beli rumah yang tempatnya ramai gitu?” aku balik bertanya.

“Ini rumah warisan orang tua ibu, dan diamanatkan supaya tidak boleh dijual, makanya ibu tetap bertahan.”

“Ya bagus lah, bu, kan saya juga jadi dapat kost-an yang murah.” candaku.

“Ah, kamu bisa aja, Din.” kata Bu Rina sambil tersenyum. “Udah dulu ya, Din, Ibu mau beres-beres rumah dulu.” lalu dia masuk ke rumahnya.

Hari itu aku merasa sesuatu yang beda, mungkin sudah gak ada Putri teman ngobrolnya yang dulu, jadi Bu Rina mencari teman ngobrol yang lain. Semakin hari aku semakin sering ngobrol berduaan dengan Bu Rina tapi hanya obrolan-obrolan biasa sekitar lingkungan tempat tinggal, aktifitas sehari-hari, hanya sebatas itu. Namun hampir setiap hari atau saat Bu Rina sedang tidak ada kerjaan selalu saja datang untuk ngobrol denganku.

Hingga pada suatu hari Pak Dedi dapat tugas keluar jawa untuk proyek BTS-nya. Saat itu aku baru saja pulang kuliah. Waktu itu tiba-tiba hujan, karena Bu Rina sedang tidak ada di rumah maka aku mengangkat jemurannya biar tidak kehujanan. Sepulangnya Ibu Rina, aku langsung mengantarkan jemurannya tadi, namun ketika aku kembali ke kamarku, tanpa kusadari ternyata celana dalam bu Rina ketinggalan secara tidak sengaja. Duh, bingung juga jadinya. Mau kuantarkan pasti malu lah hanya mengantarkan satu celana dalam Bu Rina, tapi kalau tidak kuantarkan pasti Bu Rina bakalan berpikiran negative kalau aku sengaja menyembunyikan celana dalamnya. Ah, daripada nantinya jadi macam-macam lebih baik aku antarkan saja.

Tok.. Tok.. kuketuk pintu belakang rumah Bu Rina. Muncul lah Ibu Rina. “Eh, nak Udin.” sapanya ramah seperti biasa.

“Maaf, bu, ini ada jemurannya yang tertinggal tadi.” kataku sambil memberikan celana dalamnya dengan menahan malu.

“Oh ya, makasih, Din.” terlihat wajah Bu Rina juga nampak malu karena celana dalamnya aku pegang. “Udah makan, nak Udin?” Bu Rina mengalihkan pembicaraan.

“Udah bu, makasih.” jawabku bohong.

“Ah, pasti belum, ibu juga tahu kamu tuh suka makannya malam, ayo temenin ibu makan.” ajaknya.

“Udah kok, bu. Beneran.” aku coba menolak.

“Ayo sini temenin ibu makan, gak baik loh nolak rezeki.” katanya sambil menarik tanganku, memaksa untuk masuk.

Tak kuasa menolak, aku pun menuruti permintaan Bu Rina. Aku masuk dan mengikutinya yang membawaku ke meja makan.

“Silahkan duduk, nak Udin.” kata Bu Rina

“Iya, makasih, bu.” aku pun duduk diikuti dengan Bu Rina yang ikut duduk. “Loh, bapak kemana, bu?” aku bertanya melihat hanya kami berdua yang ada di ruangan itu.

“Tadi bapak ada tugas mendadak ke Bengkulu, padahal Ibu susah masak, jadinya ga ada yang makan, makanya Ibu ajak nak Udin makan sekalian, biar gak mubazir.” jawabnya.

Kami pun makan bersama sambil mengobrol berdua. Mulai dari masalah makanan, hoby, tempat kost-an dan lain-lain. Selesai makan aku hendak pamit, meski masih betah ngobrol dengan Bu Rina tapi tak enak juga berduan dalam satu rumah. Apalagi sudah hampir malam, mungkin juga Bu Rina mau melakukan aktivitas lainnya.

“Sudah dulu yah, bu, sudah malam.” aku pamit.

“Nyantai aja, nak Udin, temenin Ibu dulu kenapa.” tapi Bu Rina melarang.

“Ah, gak enak, bu. Kalau dilihat orang kan gak enak.” aku berdalih.

“Ah, tenang aja, lagian ga akan ada orang yang lihat. Mau ibu bikinin kopi?”

“Gak usah, bu, makasih.”

Namun Ibu Rina tetap membikinkan kopi dan mengajakku untuk melanjutkan obrolannya di sofa di depan TV. Kami pun melanjutkan obrolan tadi namun kali ini Bu Rina menanyakan hal tentang aku.

“Kamu sudah punya pacar, Din? Kok ibu perhatikan kamu gak pernah ngajak perempuan ke sini, padahal kan usia seumur kamu pasti lagi asyik-asyiknya pacaran?”

“Saya gak punya pacar, bu, lagi konsentrasi kuliah dulu.”

Baca Juga