Cerita Panas Ibu Rina, Istri dan Mertua Part 7

Cerita Panas Bersambung 7

Cerita Panas Bersambung – Plaaak… Plaaakk… semakin keras pukulanku, dan semakin kencang pula kocokanku di pantatnya. “Aahhhhhh…” Bu Rina menjerit. “aku keluar, sayang! arghhhhh…” tubuhnya berkedut-kedut saat dari dalam liang vaginanya menyembur cairan hangat yang banyak sekali hingga membasahi lantai.

“Aku juga, Say!” crot.. crot.. crot..!! spermaku menghujam di dalam pantat Bu Rina dan saat kukeluarkan penisku, nampak spermaku berceceran keluar dari lubang pantatnya. Bu Rina tengkurap lemas, sementara aku terbaring terlentang di sampingnya. Untuk beberapa saat, kami terdiam karena kecapekan. Kusibakkan rambutnya hendak mencium pipinya, namun aku terkaget ketika melihat air mata menetes dari mata Bu Rina.

“Kenapa menangis, Say?” tanyaku heran.

“Ini untuk yang terakhir kali, Sayang.” jawab bu Rina Lirih.

“Kenapa terakhir?” aku semakin heran, apa dia sudah bosan? “Ibu sudah gak menginginkan aku lagi?”

“Nggak. Bukan begitu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu, tapi ini harus.” tangisannya menjadi. “Aku akan pindah ke Makasar.”

“Tapi aku gak mau pisah.” aku tidak bisa menerima keputusannya. “Kenapa?” aku menuntut penjelasan.

“Aku cinta kamu, Din, tapi aku gak mau menghancurkan hidup kamu, masa depan kamu, selamanya kita tidak mungkin bisa bersama.”

Aku hanya tertegun, hatiku hancur berkeping-keping.

“Selamanya aku cinta kamu, Din. Maafkan aku…” kata bu Rina untuk terakhir kali.

***

Lima tahun sudah perpisahanku dengan bu Rina. Kami tidak pernah berkomunikasi, tidak ada kabar sedikitpun. Mungkin ia sengaja demikian dan aku juga tidak mencari jejaknya karena hanya akan membuat perasaanku sakit. Yah, setelah 5 tahun berpisah, perasaanku terhadap Bu Rina tidak hilang sehingga selama lima tahun ini juga aku tidak berhubungan khusus atau pacaran.

Aku bisa menahan perasaan, tetapi tidak dengan birahiku. Kebiasaanku berhubungan badan dengan Bu Rina rupanya telah menjadi candu yang selalu ingin terpuaskan. Mungkin selama enam bulan syahwatku bisa tertahan, namun lambat laun birahiku berontak minta dilampiaskan. Akhirnya WTS lah yang menjadi sasaran pemuas birahiku, tidak perlu hubungan khusus atau perasaan, asal ada uang birahi pun terpuaskan.

Sudut-sudut kota Bandung sudah kujelajahi untuk memuaskan birahiku. Mulai dari Saritem yang terkenal, Tegalega, stasiun KA, sampai ke gang-gang yang kumuh. Aku sudah hapal betul tempat-tempat yang aman untuk memuaskan birahi. Mulai yang kurus sampai yang gendut seperti gajah, mulai ABG anak SMA sampai nenek-nenek yang banyak kriputnya, mulai yang tarif 2 juta sampai yang 50 ribu telah aku coba, namun tak ada satu pun yang seindah Ibu Rina.

Umurku sekarang sudah 29, usia yang sudah layak untuk berumah tangga. Keluargaku selalu mendorongku untuk menikah karena umurku yang sudah cukup dan pekerjaanku yang sudah tetap dengan penghasilan yang lumayan. Beberapa kali mereka mencoba mencarikan calon istri buatku namun aku selalu menolak. Bukan karena kurang cantik atau kurang apapun, tapi aku memang tidak bisa menikah tanpa adanya perasaan.

Hingga suatu saat, ketika reuni akbar di sekolahku dulu, aku bertemu dengan seorang wanita. Risna namanya, adik kelasku beda 2 angkatan. Aku dulu memang akrab dengan dia, bahkan dekat sekali, tapi selama itu, aku hanya menganggap dia tak lebih sebagai adik. Dari acara reuni itu, kami saling tukar nomor telepon, kami pun lebih sering berhubungan. Sebenarnya dari dulu aku mengetahui kalau Risna memendam perasaan kepadaku, namun karena waktu itu aku hanya konsentrasi sekolah maka aku selalu mengabaikan hal-hal yang seperti itu.

Risna belum menikah, bahkan dari pengakuannya, dia belum pernah pacaran sama sekali. Mungkin terasa aneh ketika wanita umur 27 tahun belum pernah pacaran, tapi itulah dia. Setelah lulus SMA dulu, dia tidak melanjutkan kuliah, tapi lebih memilih langsung bekerja untuk mengobati sakit bapaknya dan membiayai sekolah dua adiknya. Dua tahun yang lalu bapaknya meninggal karena sakit, dan sekarang adik-adiknya sudah pada lulus sekolah, mungkin sudah saatnya dia untuk mencari pasangan hidup, namun sialnya justru aku lah yang menjadi sasarannya.

Awalnya aku menolak, karena dari dulu aku selalu menganggapnya adik, namun akhirnya aku bersedia juga menikahinya. Rasa sayang ada, namun tidak dengan cinta. Yah, memang sudah saatnya aku nikah dan daripada aku selalu jajan untuk memuaskan birahiku, lebih baik aku nikah. Dua bulan setelah reuni, kami melaksanakan pernikahan. Pernikahan yang ala kadarnya tanpa pesta yang mewah karena tanpa ada persiapan.

Setelah menikah, aku tinggal di rumah orang tua Risna. Aku sebenarnya menginginkan tinggal berpisah, namun Risna menolaknya. Kedua adik Risna sekarang sudah bekerja di Batam dan Jakarta, makanya Risna tetap menginginkan tinggal di situ untuk menemani ibunya.

Setelah tiga bulan menikah, suatu hal yang aneh terjadi. Waktu itu hari sabtu, hari libur bagiku karena aku hanya kerja dari senin sampai jumat, tetapi tidak dengan istriku Risna yang bekerja di pabrik garment. Pagi itu, setelah istriku pergi, aku hanya menghabiskan waktu luangku di kamar sambil mendengarkan musik dan tiduran.

“Libur ya A’?” tanpa kusadari, mertuaku sudah ada di pintu kamar yang memang tidak tertutup. Risna anak pertama sehingga di keluarga dipanggil Teteh, makanya aku juga ikutan dipanggil Aa.

“Oh, iya, mah.” aku sedikit kaget.

“Tetehnya dah pergi?”

“Udah, mah, barusan aja.”

“Oh, mamah tadi habis senam ngerumpi dulu sih sama ibu-ibu jadi gak tau perginya. Aa hari ini gak kemana-kemana?”

“Nggak, mah, emang ada apa ya?” tanyaku.

“Ah, nggak, cuma mau ngobrol aja.” tiba-tiba mertuaku masuk dan duduk di kasur di sebelahku. “Aa kapan atuh mau ngasih mamah cucu, mamah kan sudah pengen ngegendong cucu nih.” lanjutnya.

“Belum dikasih aja, mah, kami juga sedang berusaha kok.”

“Mainnya kurang benar kali, A’!”

“Main apanya sih, mah?” aku sudah tahu kalau mertuaku sudah menjurus ke seks, tapi aku pura-pura tidak tahu arah pembicaraannya.

“Coba mamah lihat, apa Aa mainnya sudah benar apa belum?” Aku kaget saat tiba-tiba mertuaku berdiri dan membuka bajunya sampai bugil. Mertuaku umurnya sekitar 50 tahunan, badannya sudah melar namun tak nampak lemak yang bergelambir. Meski melar, tubuhnya terlihat masih pada kencang, mungkin karena rajin senam. “Ayo donk, A’…” dia meminta lagi.

“Ah, nggak, mah. Ntar Risna gimana?” meski penisku sudah menegang melihat mertuaku telanjang, aku coba untuk menolaknya. Bagaimanapun aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan mengkhianati Risna.

“Udah. Teteh mah gak usah dimalahin. Tenang aja A!” melihatku hanya melongo, mertuaku langsung membuka celanaku dan langsung mengulum penisku yang sudah menegang.

“Udah, mah, jangan!” mulutku berucap menolak, namun tidak dengan penisku. Kuluman mertuaku begitu nikmat terasa, lebih nikmat daripada kuluman Risna, istriku, mungkin karena lebih berpengalaman. Aku pun terhanyut dalam kuluman ibu mertuaku, tak ada niat lagi untuk menolak atau berontak. Lidah ibu mertuaku lincah megenai titik sensitifku.

Baca Juga