Cerita Seks Bersambung – ”I-iya, Dok.” resah Ustazah Nur, apa yang ditakutkannya ternyata terjadi juga.
”Saya tidak bisa menerangkan lebih banyak lagi, karena itu bukan bagian saya. Ustazah bisa bertanya nanti pada dokter Ismi, biar dia yang memeriksa lebih lanjut.”
Ustazah Nur mengangguk lagi.
”Ustazah silakan tunggu di depan, nanti kami panggil.” kata dokter Aini.
”Periksanya harus sekarang, dok?” tanya Ustazah Nur, hari sudah siang, ia harus mengajar ke sekolah.
”Iya, soalnya saya takut kalau terlambat nanti jadi bahaya.” terang dokter Aini.
”B-baik, terima kasih, dok. Assalamu’alaikum…” Ustazah Nur pun pamit dan melangkah keluar dari ruang periksa dengan perasaan bimbang. Ia segera mengirim SMS kepada Ustazah Rina, mengabarkan kalau hari ini ia tidak bisa masuk karena sakit.
Kurang dari 15 menit, Ustazah Nur dipanggil kembali. Ia disuruh masuk ke ruang periksa oleh seorang perawat muda yang juga berjilbab lebar seperti dirinya. Kali ini ruangannya agak sedikit berada di pojok, dekat dengan ruang bersalin. Ustazah Nur membuka pintunya dan alangkah terkejutnya dia saat melihat siapa yang berada di dalam. Bukan dokter Ismi yang ia temui, melainkan seorang dokter tua yang usianya hampir setengah abad, dua kali lipat dari usianya. Badan lelaki itu kurus, tapi cukup tegap. Kulitnya agak gelap, dengan dandanan rapi dan sopan. Ada sedikit petak-petak putih di rambutnya yang tersisir rapi.
Dokter itu tersenyum dan menyuruh Ustazah Nur untuk masuk, ”Silakan duduk, Ustazah.” Dia terlihat cukup sopan. Dr. Pramudya, begitu tulisan yang tertera di nametag-nya.
Ustazah Nur balas tersenyum dan segera menempatkan diri di depan dokter tua itu. Perasaannya sungguh tak karuan. Dimana dokter Ismi? Apakah dia harus diperiksa oleh dokter laki-laki ini? Ustazah Nur tentu sangat keberatan. Tapi sebelum dia sempat memprotes, dokter Pram sudah keburu berkata,
”Maaf, Ustazah, dari hasil laporan pendahuluan yang saya terima dari dokter Aini, saya menduga ini adalah sejenis virus atau bibit kanker. Untuk memastikannya, saya harus melakukan pemeriksaan lanjutan pada diri Ustazah.” kata dokter Pram.
Ustazah Nur terhenyak, apa yang selama ini berusaha ia hindari, ternyata terjadi juga. Ia akan ’dijamah’ oleh dokter lelaki. Untuk menenangkan gejolak di hatinya, Ustazah Nur menarik nafas panjang dan kemudian bertanya, ”Kalau boleh tahu, kemana dokter Ismi? Menurut dokter Aini, dokter Ismi lah yang harusnya menangani saya.”
Dokter Pram tersenyum, ”Dokter Ismi mendapat telepon mendadak dari keluarganya, salah satu anaknya terlibat kecelakaan di luar kota. Saya terpaksa datang untuk menggantikannya.”
”Ehm, begitu ya. A-apakah tidak ada dokter yang lain, yang wanita maksud saya.” kata Ustazah Nur terbata-bata.
Dokter Pram tertawa, ”Jangan takut, Ustazah. Saya tidak akan berbuat macam-macam pada Ustazah. Saya sudah berkerja puluhan tahun, sudah tidak terhitung jumlah pasien yang saya tangani. Semuanya tidak ada masalah, saya akan perlakukan Ustazah seperti saya memperlakukan mereka. Saya terikat sumpah kalau sampai berbuat buruk pada Ustazah.”
Ustazah Nur menunduk, ia jadi tidak punya argumen lagi untuk menolak.
”Bagaimana, Ustazah, bisa kita mulai sekarang?” tanya dokter Pram melihat Ustazah Nur yang terdiam membisu.
”I-iya, Dok. Tapi sebelumnya, kalau boleh tahu, pemeriksaan macam apa yang akan dokter lakukan?” tanya Ustazah Nur malu-malu.
”Pap smear dan VE. Dengan begitu saya bisa memastikan jenis benjolan yang ada di kewanitaan Ustazah.” jelas dokter Pram. ”Sekarang, silakan Ustazah berbaring di situ,” laki-laki itu menunjuk kasur yang ada di pojok ruangan. Perawat berjilbab yang sejak tadi menyiapkan segala sesuatu, sekarang berbalik pergi meninggalkan ruangan, menyisakan dokter Pram dan Ustazah Nur hanya berdua di tempat yang sepi itu.
Jantung Ustazah Nur berdegup kencang, dia teringat berbagai cerita mengenai pap smear dari rekan-rekannya. Kebanyakan kisah mereka sungguh menakutkan karena harus memamerkan mahkota yang paling berharga kepada lelaki yang bukan muhrim, padahal sepatutnya hanya kepada suami sajalah mereka boleh memperlihatkan pemandangan indah itu. Dalam hati, Ustazah Nur ingin menolak, namun dia bingung juga akan keadaan dirinya, apalagi mengingat kata-kata dokter Pram barusan. Ia terancam terkena kanker rahim! Oh, sungguh sangat menakutkan.
Dan ketakutan ternyata bisa meruntuhkan akal sehatnya, terbukti saat dokter Pram berkata, ”Silakan Ustazah letakkan kedua kaki di atas sini,” Ustazah Nur sama sekali tidak bisa menolak. Bayangan akan ancaman kanker rahim membuatnya menurut dengan cepat.
Dokter Pram menunjuk dua penyangga yang ada di ujung ranjang, saat Ustazah Nur meletakkan kedua kakinya disana, posisinya sekarang jadi seperti mengangkang. Kedua pahanya terbuka lebar, sementara kemaluannya terekspos bebas, siap menerima tatapan dokter Pram yang akan menghujam sebentar lagi.
Laki-laki itu berdiri di ujung ranjang, tepat di tengah-tengah celah kaki Ustazah Nur. Tampak sebagian paha Ustazah Nur sedikit terbuka, juga selangkangan perempuan cantik itu yang tampak menggembung indah. Dokter Pram menatap nanar kesana, seperti tengah menyantap dan menikmati betapa mulus dan mempesonanya aurat Ustazah Nur.
Ustazah Nur sendiri bukannya tak sadar diperhatikan seperti itu, namun apa daya, ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah semua itu. Sama sekali tidak ada! Yang bisa ia lakukan sekarang cuma duduk terdiam pasrah sambil berharap pemeriksaan itu berlangsung cepat sehingga rasa malu yang menggumpal di hatinya tidak bertambah menjadi lebih besar lagi.
”Maaf, Ustazah.” Dokter Pram menarik jubah terusan panjang warna hijau muda bercorak bunga yang dikenakan Ustazah Nur ke atas, kain daleman warna putih yang dipakainya turut disingkap ke atas sampai ke batas pinggang, membuat sebagian paha dan celana dalam si ustazah terlihat jelas. Ustazah alim ini memakai stoking putih panjang hingga ke ujung lututnya, meski begitu, separuh tubuhnya sudah telanjang sekarang. Memang dia masih memakai baju dan jilbab lebar untuk menutupi tonjolan buah dadanya yang membusung indah, tapi bagian bawah tubuhnya -yang merupakan bagian paling intim- justru terbuka lebar.
Dokter Pram menelan ludah, dia memang beruntung. Meski sudah banyak melihat berbagai bentuk dan rupa kemaluan wanita, namun milik Ustazah Nur ini tampak sangat spesial. Masih tertutup celana dalam saja sudah terlihat begini indah, apalagi kalau dibuka. Membayangkannya membuat penis sang dokter yang sudah lama tidak terbangun, jadi menggeliat lagi. Ditambah kulit paha Ustazah Nur yang begitu putih dan mulus, jadilah dokter Pram menyeringai mesum karenanya.
”Maaf ya, Ustazah, ininya saya buka,” kata dokter tua itu sambil menyingkap sedikit celana dalam Ustazah Nur hingga celah kemaluannya terlihat jelas. Tampak begitu indah dan sempurna. Meski baru saja dipakai untuk melahirkan, benda itu tetap terlihat imut dan lucu, begitu sempit dan mungil, tampak tidak melar sama sekali. Pasti rasanya masih sangat menggigit. Dengan warna merah kecoklatan, dan rambut yang tercukur rapi tumbuh di bagian atasnya, jadilah kemaluan itu begitu mantab dan mempesona.
Ustazah Nur bukannya ikhlas diperhatikan seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, mau mundur sekarang juga percuma, dokter Pram sudah terlanjur menatap kemaluannya. Ia sebenarnya malu bukan main, air mata mulai menetes di sudut kelopaknya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ini prosuder normal, hanya dengan begini dokter Pram bisa mendiagnosis penyakitnya, meski itu artinya ia harus merelakan dokter tua itu mengutak-atik kemaluannya. Ustazah Nur menghela nafas, demi kesembuhan, tampaknya ia harus rela melakukan itu.
”Maaf, Ustazah,” sekali lagi dokter Pram meminta maaf. Tanpa memperhatikan ekspresi Ustazah Nur yang malu dan takut, ia mengambil krim dari salah satu tube yang tertata rapi di meja dan mengoleskan ke telapak tangannya. Ustazah Nur memperhatikan dengan seksama saat dokter Pram meratakan krim itu ke permukaan kemaluannya.
”Agar Ustazah nyaman dan tidak sakit.” kata dokter tua itu sambil tangannya terus bergerak. Ustazah Nur bergidik, baru kali ini ada lelaki lain yang memegang kemaluannya, dan bukan cuma memegang, tapi sudah memijit dan menggesek-gesek meski sama sekali tidak terlihat punya niat buruk. Jari-jari dokter Pram bergerak dengan ringan, membelai bibir kemaluan Ustazah Nur, berusaha meratakan krim di tangannya sesempurna mungkin.
Bersambung… – Part 3 –
***
Baca Juga
- Cerita Ngentot Bersambung : Mamaku Idamanku dan Tetangga
- Cerita Seks Bersambung Birahi Ibu dan Anak
- Cerita Panas Bersambung Bugil dengan Pembantu
- Novel Dewasa: Seks Teman Kantor
- Cerita Dewasa: Seks Kebaya Merah
- Cerita Panas: Tukang Kebun Besar Kali
- Novel Erotis Istri Selingkuh
- Wattpad Dewasa Ngentot Anak SMP
- Cerbung Ngeseks Dengan Kakak Dan Adik Kandungku
- Ketahuan Coli Jadi Ngewe sama Bibi
- Ngentot Ukhti di Hutan
- Istri yang Diperkosa Supir
- Dibantu Intan di Kamar Mandi
- Hilangnya Perawan Pramugari